Minggu, 17 Oktober 2010

Sertifikat Cambridge Untuk Apa dan Siapa?


oleh :
Satria Dharma (Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia)

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh menegaskan bahwa pihaknya akan membeli lisensi akreditasi sekolah dasar dan menengah dari luar negeri yang berafiliasi dengan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Hal ini menurutnya terpaksa dilakukan, karena berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan, penyebab mahalnya biaya pendidikan di RSBI adalah akibat sekolah membeli sendiri lisensi akreditasi dari luar negeri, contohnya dari Cambridge.
Mendiknas mengungkapkan hal itu ketika ditemui usai membuka ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (13/7). "Kita akan membeli sendiri lisensinya. Nanti akan kami sebarkan ke setiap RSBI," jelasnya. (JPNN.com, 13 Juli 2010 )
Berita ini sungguh mengejutkan dan sekaligus mengherankan. Bagaimana mungkin Kemendiknas akan membeli lisensi akreditasi sekolah dari luar negeri? Apakah pemerintah Indonesia tidak mampu membuat akreditasi dari sekolahnya sendiri?

Pertanyaannya adalah UNTUK APA akreditasi tersebut? Apa yang hendak dicapai dari adanya akreditasi tersebut? Pertanyaan ini SANGAT PERLU untuk dijawab dan lepas dari mahal atau murahnya harga lisensi akreditasi tersebut. Apakah dengan adanya lisensi dari Cambridge (CIE) maka siswa kita akan menjadi lebih mudah untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, umpamanya? Apakah dengan adanya akreditasi dari CIE maka kualitas pendidikan kita akan naik ratingnya di mata internasional, umpamanya? Apakah jika kita menggunakan akreditasi Cambridge maka kualitas pendidikan kita akan dianggap setara dengan negara-negara maju, umpamanya? Apa sebenarnya urgensi dari akreditasi Cambridge tersebut?
Saya ingin membuat analoginya dengan lisensi TOEFL. Mana kira-kira yang lebih perlu bagi pendidikan kita antara lisensi ujian CIE (Cambridge International Examination) dengan lisensi ujian TOEFL? Mana yang lebih umum penggunaannya dan mana yang lebih banyak dibutuhkan bagi siswa yang hendak melanjutkan ke LN antara sertifikat Cambridge dengan TOEFL? Kita tahu bahwa sertifikat TOEFL (atau TOEIC) sangat dibutuhkan jika siswa ingin melanjutkan belajar ke LN dan merupakan prasyarat utama biasanya. Tapi apakah pemerintah pernah BERPIKIR untuk membeli lisensi TOEFL agar biaya testnya menjadi lebih murah bagi siswa-siswa kita yang hendak belajar ke LN? Tidak kan?!
Seperti juga ujian TOEFL, ujian sertifikat Cambridge tidak selalu berhubungan dengan materi yang dipelajari. Maksudnya, bisa saja kita belajar bahasa Inggris dan menguasainya tanpa perlu harus mengikuti ujian TOEFL. Saya sendiri seorang guru bahasa Inggris yang pernah bekerja sebagai guru bhs asing di sekolah Internasional tapi tak pernah mengikuti ujian TOEFL karena tidak pernah menjadi syarat.
Sertifikat Cambridge juga demikian. Seorang siswa bisa saja melanjutkan studinya ke LN tanpa memiliki sertifikat Cambridge (atau sertifikat internasional apa pun). Tidak ada persyaratan secara internasional bahwa siswa harus memiliki sertifikat Cambridge agar bisa diterima di perguruan tinggi tertentu. Jika kita memiliki sertifikat Cambridge juga bukan merupakan jaminan bahwa kita akan diterima di perguruantinggi yang akan kita tuju. Seperti juga sertifikat TOEFL, sertifikat Cambridge hanya merupakan sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa kita telah mengikuti sebuah tes dengan hasil nilai tertentu. Singkatnya, sertifikat Cambridge tidak memberi jaminan apa pun kepada pemiliknya untuk bias mulus melanjutkan studi ke LN.
Jadi apa sebenarnya tujuan dari sertifikasi Cambridge tersebut? Apalagi jika sampai harus dibeli oleh sebuah kementerian pendidikan? Pemerintah juga tidak pernah mengeluarkan ide untuk membeli lisensi TOEFL agar digunakan oleh siswa-siswa dan dosen-dosen yang ingin melanjutkan studinya ke LN kan? Untuk apa dan untuk siapa pemerintah harus membeli lisensi akreditasi program Cambridge tersebut? Analoginya Adalah : Apa gunanya ikut ujian dan memperoleh sertifikat TOEFL jika kita tidak memerlukannya? Apakah untuk iseng-iseng saja? Tentu tidak kan!
Jelas ini merupakan sebuah kesalahan LOGIKA beruntun yang dilakukan karena mengikuti logika program SBI yang sudah sejak dari konsepnya saja sudah salah kaprah. Untuk dapat menjadi bangsa yang memiliki kualitas pendidikan yang setara dengan negara-negara maju lainnya tidak berarti bahwa kita harus mengikuti standar akreditasi sebuah lembaga yang dianggap internasional sekali pun. Lagipula tak ada gunanya mengikuti sertifikasi Cambridge jika kurikulumnya sendiri tidak digunakan. Logika yang digunakan oleh Kemendiknas dalam hal ini nampaknya terjebak oleh pemikiran sekolah-sekolah swasta mahal yang menawarkan kurikulum dan ujian sertifikat internasional macam Cambridge. Sekolah-sekolah swasta mahal tersebut memang menggunakan kurikulum dan sertifikat Cambridge karena ditujukan bagi golongan menengah atas yang ingin agar anaknya nantinya bisa meneruskan ke LN. pertimbangan sekolah-sekolah tersebut adalah semata EKONOMI dan bisnis. Ketika demand tinggi maka
supply pun diadakan. Karena banyak orang tua yang ingin anaknya mudah melanjutkan studi ke LN maka bertebaranlah sekolah-sekolah swasta menawarkan program yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan orang tua tersebut. Tapi masak sebuah pemerintahan mau mengikuti cara berpikir sekolah swasta! Ingat bahwa sekolah yang hendak di SBI-kan pemerintah itu adalah sekolah public yang smestinya mengikuti KURIKULUM DAN AKREDITASI (atau evaluasi) NASIONAL. Untuk apa pemerintah ikut-ikutan bermain di ladang sekolah internasional yang hanya akan dinikmati oleh anak-anak klas atas? Tidakkah lebih baik bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan sekolah-sekolah dan siswa-siswa yang miskin dan tak mampu bahkan menikmati pendidikan dasar? Tidak sadarkah pemerintah bahwa dengan menetapkan program SBI ini berarti pemerintah telah melegalkan komersialisasi bagi sekolah-sekolah publiknya?
Eksperimen kebijakan RSBI ini jelas salah sasaran karena dengan kecemasan yg sama akan kualitas pendidikan yg dianggap merosot pemerintah AS di bawah George Bush kemarin justru mengeluarkan paket NCLB (No Children Left Behind) yg justru menyasar pada siswa-siswa di level terbawah yg diberi penanganan khusus agar tak ada lagi yg tertinggal secara akademik. Dengan mengangkat kualitas siswa paling bawah sehingga tak ada siswa yg 'left behind' maka diharapkan akan mengangkat agregat kualitas pendidikan secara makro.
Bandingkan ini dengan program RSBI yg justru ditujukan pada siswa-siswa paling berbakat (cream of the cream) dan diberi perlakuan khusus dengan dana berlimpah padahal mereka secara ekonomi dan akademik sebenarnya lebih mampu dan tidak memerlukan bantuan dibandingkan siswa yg tertinggal. Program RSBI ini malah mengabaikan siswa yg secara ekonomis dan akademis justru membutuhkan penanganan dan biaya. Sesungguhnya program RSBI ini adalah program yg memalukan bangsa dan mengkhianati rakyat kecil. Ingat bahwa ini adalah program pemerintah yg dibiayai oleh pajak dan hutang negara dan bukan program swasta
Saran saya : Evaluasi menyeluruh program SBI tersebut dan kalau perlu cabut pasal-pasal dalam UU Sisdiknas yang melegalkannya. Jika tidak maka kita akan jatuh dalam kesalahan demi kesalahan.

sumber : http://www.klubguru.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar