oleh: Sukartaji Wijana
Rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), merupakan cikal bakal persiapan menuju sekolah berstandar internasional. Sebuah terobosan edukasi yang tentu patut mendapat apresiasi tersendiri.
Namun apa daya, sepertinya negeri ini memang kaya program namun kadang aplikasi di lapangan belumlah seperti yang diharapkan. Berbagai keluhan serta pro dan kontra terus mengiringi keberadaan RSBI yang dianggap berjalan amburadul. Alhasil, program ini seolah hanya menjadi ajang komersialisasi.
Masih segar ingatan kita tentang protes dari calon walimurid yang mendaftarkan anaknya di RSBI SMP N 1 Sragen. Mereka memprotes tingginya uang sumbangan pengembangan dan sumbangan rutin yang oleh panitia dipatok ugal-ugalan.
Saking derasnya aduan yang masuk, sampai-sampai salah satu anggota DPRD setempat turun langsung untuk melakukan inspeksi. Hasilnya pun membelalakkan mata. Biaya yang dipatok untuk calon siswa baru mencekik leher karena angkanya dipatok minimal Rp 2,5 juta rupiah. Biaya itu adalah biaya minimal yang berarti siapa yang mampu boleh mengisi semaksimal mungkin. Bagi kalangan menengah ke atas, uang sebesar tentu sangatlah kecil. Namun bagi wali murid dari kalangan tidak mampu tentu akan menjadi problem besar.
Mungkin, kebijakan pengisian blangko sumbangan bermaksud membelajarkan budaya demokrasi. Namun, celakanya nominal sumbangan inilah yang kemudian disinyalir menjadi parameter utama untuk menentukan kelolosan calon siswa. Walhasil, siswa yang diterima pun lebih banyak akibat latar belakang ekonomi dan sumbangan, dengan mengesampingkan kemampuan akademik.
Tidak berhenti sampai di sini. Protes berlanjut terhadap kebijakan penarikan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) yang dipatok minimal Rp 250.000 per bulan dan wajib diisi sesuai kemampuan. Sekali lagi, mungkin kebijakan ini dimaksudkan untuk orientasi demokratis. Namun kebijakan ini juga bisa berimplikasi negatif terhadap pembedaan perlakuan dan fasilitas. Belum lagi dampak negatif terhadap psikologi anak dari kalangan menengah ke bawah yang bisa minder karena uang SPP-nya di bawah siswa lain.
Protes paling anyar juga dialamatkan untuk SMAN 1 Sragen yang kira-kira berlatar belakang hampir sama. Kemudian, melebar ke Kabupaten Karanganyar. Beberapa waktu lalu, rekan kami banyak berkeluh kesah tentang sistem PSB yang tidak transparan di RSBI salah satu SMP favorit di Bumi Intanpari ini.
Mereka kecewa karena mendapati nama anaknya tidak tercantum di papan pengumuman siswa yang diterima. Padahal secara nilai akademik, semestinya anak-anak mereka bisa diterima karena memiliki riwayat prestasi baik di SD. Namun, ternyata mayoritas siswa yang diterima adalah anak-anak dari pejabat dan orang-orang terkemuka di wilayah setempat dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas.
Terlalu absurd memang, jika kekecewaan mereka dilatarbelakangi kegagalan memasukkan anaknya di RSBI. Namun protes mereka lebih dikarenakan ketidakadilan dan kecurangan yang terjadi. Sebab sejak awal panitia dilaporkan gembar-gembor bersuara bahwa kelulusan bukan ditentukan oleh besarnya sumbangan namun dari akumulasi nilai dari SD, ditambah nilai tes kompetensi pada saat ujian masuk. Namun pada kenyataannya pada papan pengumuman juga tidak mencantumkan nilai siswa yang sejak awal bakal dicantumkan secara transparan.
Pertanyaan pun kembali muncul, benarkah pola ini hanyalah salah satu upaya untuk mengelabui para orangtua yang anaknya pintar, namun angka sumbangannya kalah besar? Sederet fakta dan indikasi kecurangan tersebut semakin menguatkan bahwa selama ini RSBI ini tak ubahnya menjadi ajang komersialisasi. Terlalu kasar mungkin, tapi jika dikaji lebih dalam dugaan tersebut akan mendapatkan benang merah. Dengan dalih untuk biaya kegiatan dan penyediaan sarana prasarana belajar, sekolah bisa mematok biaya hingga puluhan juta rupiah.
Memang jika dikembalikan lagi, pendidikan berkualitas tidak akan terlepas dari sarana prasarana yang memadai. Jika dikembalikan lagi, kelas RSBI adalah jalur VIP yang dikonsep untuk siswa berkelebihan dengan fasilitas yang lebih komplet dibanding kelas reguler. Sehingga sangatlah wajar jika biaya yang dipatok juga menyesuaikan.
Payung Hukum
Namun bukan berarti sekolah bisa seenaknya memainkan bahasa tersebut untuk mengeruk keuntungan. Sebab jika dirunut lebih jauh, tujuan pengadaan RSBI ini adalah untuk menyaring siswa-siswa dengan kemampuan di atas rata-rata agar lebih optimal dalam menyerap pelajaran. Pertanyaan selanjutnya, benarkah RSBI yang ada sudah berjalan sesuai konsep yang diprogramkan?
Ya, keberadaan RSBI mempunyai payung hukum yakni UU Nomor 20/2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di mana pemerintah daerah diwajibkan menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah berstandar internasional. Hal inilah yang memotivasi daerah berlomba-lomba membuat usulan sekolah-sekolah yang dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan RSBI.
Sayangnya, celah ini pula yang terkadang ditumpangi motif lain. Yakni kepentingan untuk mendapat kucuran dana melimpah dari pemerintah pusat. Ya, sekolah yang ditunjuk sebagai RSBI memang akan mendapat suntikan dana yang nilainya hampir mendekati Rp 500 juta. Adanya motivasi ini terkadang membuat daerah seolah memaksakan sekolah yang belum sepenuhnya siap untuk tetap diusulkan.
Belum lagi jika dilihat dari segi pelaksanaan, konsep RSBI sendiri masih banyak kelemahan. Misalnya, dari aspek kemampuan penguasaan bahasa Inggris para guru yang masih sangat rendah.
Seperti pernah dinyatakan Direktur Tenaga Kependidikan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Surya Dharma, kemampuan bahasa Inggris guru dan kepala sekolah di RSBI sangatlah rendah. Di mana, 60 persen dari guru di RSBI level penguasaan bahasa Inggrisnya berada di level paling rendah. Padahal, penguasaan bahasa pokok internasional ini menjadi keharusan, mengingat pembelajaran dan komunikasi di kelas RSBI menggunakan sistem bilingual alias dua bahasa yaitu Indonesia dan Inggris.
Kemudian, jika ditinjau dari segi fasilitas juga banyak dinilai belumlah memadai. Sebab, mayoritas RSBI yang ada, baru mengupayakan prasarana seperti laboratorium setelah mendapat anggaran dari pusat. Artinya, besar kemungkinan prasarana yang ada diupayakan sambil jalan.
Tak heran jika akhirnya muncul tanggapan miring dari kalangan praktisi pendidikan. Koordinator Divisi Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan pernah menyampaikan jika RSBI atau SBI inkonstituisonal karena melanggar UUD 1945. Di mana pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional bukan pendidikan internasional.
Pengamat Pendidikan terkemuka Darmaningtyas juga menilai RSBI atau SBI adalah bentuk komersialisasi pendidikan yang melanggar konstitusi. Sistem pengelolaan RSBI yang diserahkan sepenuhnya oleh sekolah, membuat manajemen leluasa menarik biaya sebesar-besarnya karena tidak ada aturan yang eksplisit mengatur besarnya biaya sumbangan siswa di RSBI.
Melihat konteks persoalan tersebut, rasanya perlu dikaji kembali keberadaan RSBI. Mungkin perlu ada Perda dan aturan yang jelas mengenai konsep dan standar kualifikasi untuk sekolah-sekolah negeri yang membuka jalur khusus bernama RSBI. Tidak hanya manajemen programnya, perlu juga diatur mengenai mekanisme penentuan sumbangan dan rekrutmen calon siswa barunya. Keharusan transparansi prosedur rekrutmen, penentuan kelulusan, hingga pencantuman nilai menjadi hal yang mutlak tak boleh ditinggalkan. Sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi, ditelikung atau dikorbankan.
*Penulis adalah pemerhati
masalah sosial, tinggal
di Jaten, Karanganyar
http://harianjoglosemar.com/berita/rsbi-sekadar-komersialisasi-16114.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar