Minggu, 17 Oktober 2010

Dampak Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional


Dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional.
Pendidikan yang berambisi bertaraf internasional ini diamanatkan kepada pemerintah daerah dan dimaksudkan untuk memajukan pendidikan nasional ini akhirnya menjadi kebingungan nasional. Ketika kita berbicara tentang sistem pendidikan, kita berbicara mengenai :
1. kurikulum
2. materi ajar
3. metodologi pengajaran
4. kompetensi guru
5. fasilitas
6. siswa
Embel-embel istilah “.bertaraf internasional’ seringkali diterjemahkan sebagai “asing” atau “non Indonesia”. Kebingungan nasional ini kemudian berdampak kepada 6 aspek , yaitu:
1. Penggunaan kurikulum asing
Kurikulum menurut Nunan, 1987 didefinisikan sebagai produk yang diajarkan, proses untuk mendapatkan materi dan metodologi, atau sebagai fase perencanaan suatu program. Sedangkan menurut Jack C. Richards , 1996, kurikulum merupakan filosofi, tujuan, desain dan implementasi suatu program.

Saat filosofi, tujuan dan desain program diimpor sebutlah dari Negara A secara mentah-mentah, yang terjadi adalah filosofi, tujuan dan desain program belumlah tentu sesuai dengan keadaan di Indonesia. Dengan kerendahan hati saya, keadaan Negara A tidak akan pernah sama dengan keadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Apa yang membuat kita yakin filosofi itu dapat mentah-mentah diterapkan untuk anak-anak Indonesia yang sedianya menjadi generasi penerus kita? Apakah kita sadar, filosofi yang terbentuk akan mempersiapkan peserta didik kita sebagai manusia-manusia Indonesia yang semestinya akan berpikir global namun bertindak lokal? Sadarkah kita bahwa penerapan kurikulum asing sama bahayanya dengan penerapan idiologi asing jika tak pandai-pandai kita memilah isinya.
Johnson (1989) menyatakan bahwa kurikulum merupakan proses pengembangan, revisi, perawatan, dan pembaharuan yang bersifat terus menerus dan bersiklus sepanjang kurikulum itu masih ada. Dengan demikian, suatu kurikulum tidak mungkin dapat mentah-mentah digunakan tanpa proses adaptasi, apalagi tanpa melibatkan input dari guru-guru dan terutama siswa sebagai hasil proses itu sendiri.
Apa yang terlintas di benak kita saat kita dengan bangganya mengatakan “ Sekolah kami menggunakan kurikulum Negara A”? Sudahkah kita melengkapi diri dengan riset bahwa ternyata di Negara A tersebut kurikulum tersebut menjadi penyebab tingkat stress yang tinggi pada para siswanya di tempat asalnya atau bahkan para ahli pendidikan menganggap produk kurikulum yang kurang berhasil?
2. Materi ajar
Setelah latah menggunakan kurikulum asing, maka beberapa sekolah menjadi korban mangsa penerbit internasional yang melakukan gerakan ekspansi ke Indonesia. Sasaran paling empuk sang penerbit asing adalah sekolah-sekolah yang kebingungan karena hanya diberi target 2 tahun untuk mempersiapkan diri menjadi Sekolah Bertaraf Internasional. Langkah gegabah yang diambil, tidak berhenti pada pembelian kurikulum, tapi memborong buku yang bertuliskan “ berdasarkan kurikulum negara A” dengan harapan penggunaan buku impor itu melegitimasi label “ Sekolah Bertaraf Internasional”. Apa yang terjadi? Guru kebingungan karena tak mengerti “jiwa” buku itu , atau malah jadi pening karena buku itu ternyata menggunakan bahasa pengantar bahasa asing. Celakalah jika kemampuan guru dalam bahasa asing benar-benar nol. Bagaimana bisa mengajar dengan buku impor itu? Jikapun ada guru yang mampu cas-cis-cus berbahasa asing, apakah siswanya siap diajarkan dengan buku impor? Jika diterangkan suatu konsep dalam bahasa Indonesia saja siswa masih kesulitan, bagaimana mungkin akan mengerti buku teks yang ditulis dalam bahasa asing? Jika kesulitan belajar di rumah, apakah orang tua bisa membantu?
Belum lagi masalah UUD: ujung-ujungnya duit. Materi impor sama dengan harga impor. Apakah siswa berkemampuan membayar? Jika tidak, apakah sekolah berhak memaksa? Apa urgensinya pemakaian buku impor di sekolah katakanlah di lereng bukit suatu kabupaten? Bersediakah kita mengorbankan kemampuan membayar orang tua siswa demi suatu gengsi disebut sekolah internasional karena mempergunakan buku dari Negara A? Bukankah akan terjadi diskriminasi kesempatan dikarenakan kemampuan membayar?
Buku impor itu pastinya disajikan dalam bahasa asing, minimal bahasa Inggris. Tapi tunggu dulu, bahasa inggris macam apa? Jangan-jangan bahasa Inggris gaya Negara A? Apakah sudah benar cara penuturan penulis dalam bahasa Inggis itu? Bagaimana dengan isinya? Sesuaikan dengan keadaan lokal?
Secara sederhana, saya ilustrasikan saja, jika ada satu bahasan pelajaran IPA mengenai jenis-jenis hewan bertulangbelakang dalam buku impor itu yang disebutkan adalah hewan yang ada di Negara A. Kapan pula kita akan memperkenalkan hewan asli Indonesia? Bukankah seharusnya hewan lokal terlebih dahulu yang dijadikan contoh untuk memudahkan pemahaman, dan juga pengenalan potensi daerah?
3. Metodologi pengajaran
Apa yang diamanatkan sebuah kurikulum biasanya dituangkan dalam materi dan disampaikan dengan metode pengajaran tertentu. Apakah saat sekolah membeli kurikulum asing tersebut, ada pelatihan yang memadai bagi guru-guru untuk menyesuaikan metode pengajarannya? Pun jika guru-guru dikirim ke suatu institusi untuk pelatihan, apakah ada upaya kendali mutu di lapangan pada saat mereka kembali mengajar? Apakah ada kendala-kendalanya? Siapa yang melakukan pendampingan bagi guru-guru ini?
Sedihnya adalah anda akan menemukan fakta bahwa akhirnya guru-guru ini dipasrahkan kepada penerbit asing yang berbaik hati menjanjikan pelatihan, tapi seperti mengikat perjanjian dalam perjanjian bisnis yang berkondisi tertentu : kami siap melatih, jika anda siap mempergunakan buku-buku kami. Maka terjebaklah sekolah tersebut dalam lingkaran itu : membeli kurikulum asing, terjebak membeli buku impor, terjebak membeli tes impor. Duit, duit, duit. Bayar,bayar, bayar. Siapa yang membayar?
Kurikulum asing yang terjabarkan dalam materi katakanlah pelajaran Matematika menyebutkan agar siswa dapat memahami perkalian. Tunggu dulu, memahami perkalian ala kita dari jaman kejaman pada umumnya siswa disuruh menghafal, dan terjadilah drilling berkepanjangan. Padahal, mungkin “jiwa” kurikulum tersebut hanya mempersyaratkan anak-anak memahami konsep perkalian dasar dengan cara –cara lain misalkan mempergunakan alat peraga tertentu. Timbul lagi masalah, beli dimana alat peraga itu? Berapa lagi biaya yang diperlukan untuk itu? Duit lagi, duit lagi Padahal, ada metodologi yang lebih sesuai bagi anak-anak didik kita, dan tak selalu harus mahal.
4. Kompetensi guru
Dimulai dari sekolah-sekolah itu juga harus mengkursuskan guru-guru agar memiliki penguasaan bahasa Inggris lebih baik. Ternyata siswalah yang menanggung biaya kursus guru-guru tersebut. Konon RAB salah satu sekolah favorit setahun Rp 2,8 miliar, yang sebagian besar untuk peningkatan sumber daya guru dan pengembangan kurikulum. Namun dalam breakdown anggaran ini, ternyata isinya untuk biaya kursus guru, menyekolahkan tenaga pendidik dan sederet workshop, lokakarya, dan sebagainya – yang semestinya tidak selayaknya ditanggung siswa.Kendatipun pembiayaan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) merupakan tanggung jawab pemerintah, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 48 tentang Pendanaan Pendidikan, sekolah-sekolah dengan status RSBI masih diperbolehkan memungut dana dari masyarakat. Karena diperbolehkan, seolah-olah merupakan pembenaran atas pembengkakan atas biaya yang harus ditanggung siswa.
Guru yang mau mengajar di sekolah bertaraf internasional pun diminta punya sertifikasi. Sertifikasi ini akhirnya pun menjadi ajang bisnis, karena guru-guru ini diharuskan membayar demi sertifikat. Adakah serifikat itu menjamin guru siap dan cukup kompeten untuk mengajar model SBI/RSBI?Pihak mana yang mengawasi kualitas dan kinerja badan sertifikasi guru tersebut? Jangan-jangan hanya jadi ajang kasak-kusuk dan sogok-menyogok demi selembar kertas itu.
5. Fasilitas
Dengan embel-embel aturan SK Mendiknas, yang memperbolehkan sekolah SBI dan RSBI menerima sumbangan dari orangtua dan pihak ketiga, siswa menanggung seluruh biaya fasilitas yang harus ada : mulai dari penyediaan AC untuk ruang belajar, laptop, computer, laboratorium bahasa, laboratorium praktikum IPA dan sebagainya.
Standar internasional itu apakah berarti harus ruangan ber-AC? Ada apa dengan konsep sekolah ramah lingkungan-ramah ozon demi bumi yang makin panas ini? Apakah sekolah internasional tidak boleh memakai angin dan ventilasi yang baik? Apakah pengadaaan komputer bagi sekolah menjadi jaminan sekolah itu bertaraf internasional?
Saya punya pengalaman pribadi ketika mendaftarkan anak bersekolah disalah satu SBI. Saat anak saya sibuk mengerjakan tes, belum lagi ada hasil tesnya, saya disodori surat pernyataan tentang kesanggupan menyumbang untuk fasilitas sekolah disertai senyum manis penuh arti dari sang Wakil Kepsek seraya berkata, “Silakan ibu tulis sumbangan apa yang sukarela diberikan.” Saya mematung seolah masuk dalam ruangan pendingin yang membuat otak saya beku sesaat, apalagi setelah dibisiki info tambahan oleh Wakil Kepsek ini “ Sebenarnya sekolah kami sedang membutuhkan lab komputer”. Saya kontan mengurungkan niat mendaftarkan anak saya disana karena saya tidak mau anak saya dijadikan komoditas untuk pengadaan komputer demi suatu predikat “ siswa SBI nih, yang menyumbangkan computer untuk sekolahnya” seolah-olah tulisan itu akan menjadi penentu masa depannya dan akan tertulis didalam curriculum vitaenya.
6. Siswa
Mau tahu syarat mendaftar menjadi siswa SBI? Tes IQ. Ingin rasanya saya memberikan ceramah mengenai Kecerdasan Majemuk saat diminta melampirkan tes IQ untuk masuk SD. Apa nasibnya orang tua yang tak mampu membayar tes IQ itu? Bagaimana anak-anak yang berkebutuhan khusus? Haruskah mereka tersisih karena hasil tes yang hanya mengukur sebagian kecil potensi anak ?
Pengakuan menarik dari salah satu pengasuh lembaga konseling hypnotherapy yang kebanjiran klien yang kebanyakan adalah para pelajar kelas 1 SMP yg rata-rata murid yg masuk di kelas SBI. Setelah satu bulan para siswa memulai belajar di sekolah yang dipilihnya, mereka mulai dijangkiti tanda-tanda depresi seperti jadi pemarah, suka menangis sendiri, nggak bisa tidur dll.Beberapa penyebab diantaranya, merasa tertekan dengan belum pahamnya mereka atas penguasaan materi pelajaran dg bahasa inggris, pake bahasa indonesia saja sulit apalagi harus memahami dg bahasa inggris begitu katanya. Kemudian mereka merasakan teman-teman di kelas sangat individualistis, juga tugas / PR yg bertumpuk yg harus dikerjakan sampai larut malam. Ditambah ada ketakutan tersendiri jika tugas tdk selesai atau salah yg biasanya akan dimarah guru-gurunya.Beberapa klient ingin di sekolah yg reguler saja dan tidak ingin masuk SBI.
Dengan perwajahan SBI ini, apakah kita akan pasrah menjadi korban pembuat kebijakan? Sedemikian putus asanyakah kita dengan sekolah bermuatan lokal?

sumber : http://indonesiaeducate.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar