Sabtu, 15 Oktober 2016

Hujan..

Sejak dulu untuk bulan yang ada ujung –Ber- indentik dengan hujan... begitu juga tahun 2016 ini, kedatangan bulan dengan akhiran kata –Ber- disambut hujan. Bulan yang dimaksud SeptemBer, OktoBer, NovemBer dan DesemBer. Bahkan Ibuku pernah bilang kalau saat aku lahir yaitu bulan Desember tahun 1993 silam, setiap hari hujan sehingga seluruh isi rumah bergoyong royong untuk mengeringkan popok yang harus aku kenakan, maklumlah saat itu tidak seperti sekarang semua serba praktis, ada laundry dimana-mana serta pampers yang bisa tinggal dibuang. Lahir sebagai generasi 90’an, jadi masih semi modern, untunglah kami tidak gagap teknologi, meskipun Komputer dikenalkan saat kami duduk di sekolah menengah pertama. Tapi tulisan ini bukan untuk panjang lebar membahas bagaimana aku lahir sehingga bagaimana kondisi fasilitas umum saat aku lahir, tulisan ini aku ingin membahas hujan yang aku alami hari ini, Sabtu 15 Oktober 2016.

Musim hujan memang, tapi aku lupa untuk membawa payung karena sejak pagi cuacanya cerah dan kampus tempat aku belajar sangat dekat, jadi tidak aku sangka pulang kuliah hujan lebat datang. Turun dari Kereta, aku memutuskan untuk bergegas sampai dirumah sebab tugas kuliah sangat banyak, mumpung weekend dan tidak kerja jadi harus diselesaikan.
Hujan yang awalnya mulai reda aku lalui saja, namun baru jalan 10 meter menuju rumah, tiba-tiba hujan lebat datang lagi. Aku sempat bingung, “Waduh, mau naik taxi gak mungkin. Kembali lagi ke stasiun malas sekali, tapi kalau terus diterabas bisa masuk angin.” Aku menggerutu sendiri. Tiba-tiba 2 orang anak kecil muncul, mereka menawarkan ojek payung. Sejujurnya melihat dua anak pemberi jasa ojek payung itu aku tidak tega, “Masa aku pakai payungnya, mereka ujan-ujanan. Kasian sekali” ujarku dalam hati. Tapi apa boleh buat, akhirnya aku menggunakan jasa kedua anak kecil yang usianya aku perkirakan satunya 7 tahun dan satunya lagi 9 tahun. “Kemana mbak” ujar anak yang lebih besar, “Komplek yang didepan sana yaa dek” ujarku. “ini mbak payungnya”kata meraka. “Loh.. Cuma satu, terus kalian gimana?” ujarku. “Gpp mbak, hujan itu seru buat main” kata mereka berdua kompak. Akhirnya kamipun mulai jalan menuju komplek tempat aku tinggal di Jakarta.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, melihat kedua anak yang memberikan ojek payung kepadaku. Mereka benar-benar sambil main-main mengantarkan aku pulang. Akhirnya setelah memasuki komplek, aku mulai angkat bicara dan mulai menanyakan identitas mereka.
Mereka berdua ternyata adalah anak-anak yang rumah tidak jauh dari rell kereta, mereka berdua masih sekolah dan hujan menjadi berkah bagi mereka. “Kebetulan hujannya habis pulang sekolah, jadi kami langsung memanfaatkannya mbak” ujar anak yang lebih besar. “Loh memang gak dimarah orang tua? Nanti kalian sakit loh” ujarku. “Tidak mbak. Justru kami jadi bisa bantu orang tua. Setidaknya uang dari ojek payung ini bisa untuk jajan kami beberapa hari di sekolah, jadi gak minta orang tua” ujar anak itu lagi. “Kalau sakit gimana?” ujarku. “Tidak kok mbak. Sekalian mandi kan, seru juga sambil kerja sambil main. Mungkin sebagian orang tidak suka hujan tapi hujan itu keberkahan buat kami, jadi bisa cari uang” kata anak tersebut. Aku hanya diam mendengar kata-katanya, dan akupun sampai di rumah. “Terimakasih dek, ini buat kalian yaa...” ujarku sambil memberikan uang 20ribu rupiah. “Banyak sekali mbak” ujar adik yang menerima uang. “Gpp kan kalian berdua. Emang biasanya berapa ?” ujarku. “Ada yang kasih 2ribu, ada yang 4 ribu, ya seberapa aja kami ambil mbak. Kami terima saja berapapun yang dikasih” ujar anak tadi. Akhirnya kami berpisah.
Sampai dirumah, seperti biasa aku segera berganti pakaian rumah dan membereskan barang bawaan. Karena lapar, akupun memutuskan untuk keluar rumah, dan kebetulan hujannya sudah reda, maklumlah karena kuliah sangat pagi tidak sempat masak memasak, serta tadi tidak makan dikampus.
Aku memutuskan untuk berjalan kaki, dan makan di warteg dekat rumah. Saat hendak menyebrang jalan, kendaraan ramai, dan saling berebut untuk lewat. “Hmmm ramai sekali, mungkin karena hujan” ujarku sekali lewat. Sampai diwarteg, akupun memesan makan, dan saat aku hendak makan, mataku tertuju pada perempatan jalan depan warteg. Aku melihat seseorang laki-laki separuh baya, yang hanya memiliki satu kaki, sedang mengatur arus lalu lintas. Dengan kekurangannya dia tidak mengemis, bahkan dia tidak mempermasalahkan jika kendaraan yang dibantu lewat tidak memberikan uang. Aku perhatikan hanya satu dua yang mau memberikan, lainnya lewat-lewat saja.
Aku melanjutkan makananku, sambil merenung, dalam hati aku berkata “Benar-benar aku beruntung dan sudah seharusnya aku bersyukur sebanyak-banyaknya kepada Tuhan TME. Aku sudah diberikan semua yang aku butuhkan bahkan lebih, tidak lagi memikirkan besok mau makan apa tapi sudah besok mau makan dimana”. Kemudian, aku teringat anak kecil tapi, pulang sekolah memanfaatkan hujan, sedangkan aku diberikan kesempatan hingga pasca sarjana, akupun melihat laki-laki yang statusnya penyandang disabilitas, tapi keterbatasannya tidak membuatnya menjadi pengemis. Tuhan memperlihatkan aku hal seperti ini tidak lain agar aku bisa lebih bersyukur, aku menuliskannya untuk kalian yang ingin membaca, agar kita bisa sama-sama makin bersyukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar