Sejak dulu untuk bulan yang ada ujung –Ber- indentik dengan
hujan... begitu juga tahun 2016 ini, kedatangan bulan dengan akhiran kata –Ber-
disambut hujan. Bulan yang dimaksud SeptemBer, OktoBer, NovemBer dan DesemBer.
Bahkan Ibuku pernah bilang kalau saat aku lahir yaitu bulan Desember tahun 1993
silam, setiap hari hujan sehingga seluruh isi rumah bergoyong royong untuk
mengeringkan popok yang harus aku kenakan, maklumlah saat itu tidak seperti
sekarang semua serba praktis, ada laundry dimana-mana serta pampers yang bisa
tinggal dibuang. Lahir sebagai generasi 90’an, jadi masih semi modern, untunglah
kami tidak gagap teknologi, meskipun Komputer dikenalkan saat kami duduk di
sekolah menengah pertama. Tapi tulisan ini bukan untuk panjang lebar membahas
bagaimana aku lahir sehingga bagaimana kondisi fasilitas umum saat aku lahir,
tulisan ini aku ingin membahas hujan yang aku alami hari ini, Sabtu 15 Oktober
2016.
Musim hujan memang, tapi aku lupa untuk membawa payung
karena sejak pagi cuacanya cerah dan kampus tempat aku belajar sangat dekat,
jadi tidak aku sangka pulang kuliah hujan lebat datang. Turun dari Kereta, aku
memutuskan untuk bergegas sampai dirumah sebab tugas kuliah sangat banyak,
mumpung weekend dan tidak kerja jadi
harus diselesaikan.
Hujan yang awalnya mulai reda aku lalui saja, namun baru
jalan 10 meter menuju rumah, tiba-tiba hujan lebat datang lagi. Aku sempat bingung, “Waduh,
mau naik taxi gak mungkin. Kembali lagi ke stasiun malas sekali, tapi kalau
terus diterabas bisa masuk angin.” Aku menggerutu sendiri. Tiba-tiba 2 orang
anak kecil muncul, mereka menawarkan ojek payung. Sejujurnya melihat dua anak
pemberi jasa ojek payung itu aku tidak tega, “Masa aku pakai payungnya, mereka
ujan-ujanan. Kasian sekali” ujarku dalam hati. Tapi apa boleh buat, akhirnya aku
menggunakan jasa kedua anak kecil yang usianya aku perkirakan satunya 7 tahun
dan satunya lagi 9 tahun. “Kemana mbak” ujar anak yang lebih besar, “Komplek
yang didepan sana yaa dek” ujarku. “ini mbak payungnya”kata meraka. “Loh.. Cuma
satu, terus kalian gimana?” ujarku. “Gpp mbak, hujan itu seru buat main” kata
mereka berdua kompak. Akhirnya kamipun mulai jalan menuju komplek tempat aku
tinggal di Jakarta.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, melihat kedua anak yang
memberikan ojek payung kepadaku. Mereka benar-benar sambil main-main
mengantarkan aku pulang. Akhirnya setelah memasuki komplek, aku mulai angkat
bicara dan mulai menanyakan identitas mereka.
Mereka berdua ternyata adalah anak-anak yang rumah tidak
jauh dari rell kereta, mereka berdua masih sekolah dan hujan menjadi berkah
bagi mereka. “Kebetulan hujannya habis pulang sekolah, jadi kami langsung
memanfaatkannya mbak” ujar anak yang lebih besar. “Loh memang gak dimarah orang
tua? Nanti kalian sakit loh” ujarku. “Tidak mbak. Justru kami jadi bisa bantu
orang tua. Setidaknya uang dari ojek payung ini bisa untuk jajan kami beberapa
hari di sekolah, jadi gak minta orang tua” ujar anak itu lagi. “Kalau sakit
gimana?” ujarku. “Tidak kok mbak. Sekalian mandi kan, seru juga sambil kerja
sambil main. Mungkin sebagian orang tidak suka hujan tapi hujan itu keberkahan
buat kami, jadi bisa cari uang” kata anak tersebut. Aku hanya diam mendengar kata-katanya,
dan akupun sampai di rumah. “Terimakasih dek, ini buat kalian yaa...” ujarku
sambil memberikan uang 20ribu rupiah. “Banyak sekali mbak” ujar adik yang
menerima uang. “Gpp kan kalian berdua. Emang biasanya berapa ?” ujarku. “Ada
yang kasih 2ribu, ada yang 4 ribu, ya seberapa aja kami ambil mbak. Kami terima
saja berapapun yang dikasih” ujar anak tadi. Akhirnya kami berpisah.
Sampai dirumah, seperti biasa aku segera berganti pakaian
rumah dan membereskan barang bawaan. Karena lapar, akupun memutuskan untuk
keluar rumah, dan kebetulan hujannya sudah reda, maklumlah karena kuliah sangat
pagi tidak sempat masak memasak, serta tadi tidak makan dikampus.
Aku memutuskan untuk berjalan kaki, dan makan di warteg
dekat rumah. Saat hendak menyebrang jalan, kendaraan ramai, dan saling berebut
untuk lewat. “Hmmm ramai sekali, mungkin karena hujan” ujarku sekali lewat.
Sampai diwarteg, akupun memesan makan, dan saat aku hendak makan, mataku
tertuju pada perempatan jalan depan warteg. Aku melihat seseorang laki-laki
separuh baya, yang hanya memiliki satu kaki, sedang mengatur arus lalu lintas.
Dengan kekurangannya dia tidak mengemis, bahkan dia tidak mempermasalahkan jika
kendaraan yang dibantu lewat tidak memberikan uang. Aku perhatikan hanya satu
dua yang mau memberikan, lainnya lewat-lewat saja.
Aku melanjutkan makananku, sambil merenung, dalam hati aku
berkata “Benar-benar aku beruntung dan sudah seharusnya aku bersyukur
sebanyak-banyaknya kepada Tuhan TME. Aku sudah diberikan semua yang aku
butuhkan bahkan lebih, tidak lagi memikirkan besok mau makan apa tapi sudah
besok mau makan dimana”. Kemudian, aku teringat anak kecil tapi, pulang sekolah
memanfaatkan hujan, sedangkan aku diberikan kesempatan hingga pasca sarjana,
akupun melihat laki-laki yang statusnya penyandang disabilitas, tapi
keterbatasannya tidak membuatnya menjadi pengemis. Tuhan memperlihatkan aku hal
seperti ini tidak lain agar aku bisa lebih bersyukur, aku menuliskannya untuk
kalian yang ingin membaca, agar kita bisa sama-sama makin bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar