Minggu, 17 Oktober 2010

JANGAN BIARKAN BAHASA KITA DIKALAHKAN !


Pendidikan di tahun ini sampai berikutnya pasti akan mengalami kemajuan dan perkembangan, Karena pola fikir manusia juga akan terus semakin pandai dan mengalami perkembangan. Perkembangan jaman juga pasti akan mempengaruhi pendidikan di Negara ini. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal pastinya juga akan ikut mengalami perkembangan, karena peran sekolah di Negara ini sangat penting dan berpengaruh untuk memajukan Negara,dan memproduksi bibit-bibit unggul yang berprestasi.

Pengakuan Seorang Guru Pendamping Sekolah Bertaraf Internasional (Part 2)


Dalam salah satu opini di milis CFBE@yahoogroups.com, pak Satria Dharma sempat mensinyalir bahwa SBI bukanlah Sekolah Bertaraf Internasional, akan tetapi Sekolah BERTARIF Internasional. Sinyal ini beliau utarakan saat SBI masih dalam bentuk embriyo, belum jadi suatu kenyataan seperti sekarang ini. Sayangnya, sinyalemen beliau ini menjadi kenyataan. Orang tua kan menjadi sapi perah manakala anaknya masuk ke SBI.

Jadi hati-hati sajalah.... dan nikmati artikel lanjutan ini.

Dear all,
Berikut ini lanjutan dari pengakuan guru pendamping program Sekolah Bertaraf internasional kapan hari.
Your comment is always expected.
Salam
Satria

=====
Dalam pertemuan dengan seluruh orangtua murid calon kelas bilingual di satu SMP, saya berusaha untuk menyamakan ekspektasi mereka pada realitas yang kami miliki di sekolah.

manfaat ekskul bagi peserta didik


Oleh : Sahat H Pakpahan, Spd

Pendidikan adalah memberikan kebebasan seseorang untuk mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan potensi yang dimilki , sekolah adalah institusi formal bagi pelaksanan pendidikan, dan guru mempunyai peran untuk membimbing peserta didiknya untuk mengenal dirinya sebagai manusia sekaligus mengembangkan potensi yang dimiliki oleh para siswa. Untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri para peserta didik, saya pikir tidak cukup hanya pada jam pelajaran sekolah saja.

Kita ketahui bahwa waktu peserta didik dalam mengikuti proses belajar-mengajar di kelas dalam satu hari sekitar 7 sampai 8 jam pelajaran, dimana satu jam pelajaran itu intervalnya sekitar 40 - 45 menit, Setelah itu pulang. Dan bukan sedikit para siswa yang menghabiskan waktunya percuma tanpa kegiatan positif setelah jam sekolah usai.

Pentingnya Ekstra Kurikuler di Sekolah


Oleh:
Joshua Andika G. CQ Christi Sri Rejeki

Di setiap sekolah biasanya ada kegiatan tambahan selain pelajaran yang diadakan di kelas yaitu kegiatan ekstra kurikuler (ekskul). Ekstra kurikuler sendiri artinya kegiatan yang dilakukan siswa sekolah/universitas di luar jam belajar kurikulum standar. Kegiatan ini ada pada setiap jenjang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Universitas.

Kegiatan eskul ditujukan agar siswa dapat mengembangkan kepribadian, bakat dan kemampuannya di berbagai bidang diluar akademik. Manfaat kegiatan ini untuk wadah penyaluran hobi, minat, dan bakat para siswa secara positif yang dapat mengasah kemampuan, daya kreativitas, jiwa sportivitas, dan meningkatkan rasa percaya diri. Akan lebih baik bila mampu memberikan prestasi gemilang di luar sekolah sehingga dapat mengharumkan nama sekolah.

Sekolah Bertaraf Internasional

Sekolah bertaraf internasional (SBI) merupakan sebuah jenjang sekolah nasional di Indonesia dengan standar mutu internasional. Proses belajar mengajar di sekolah ini menekankan pengembangan daya kreasi, inovasi, dan eksperimentasi untuk memacu ide-ide baru yang belum pernah ada.
Pengembangan SBI di Indonesia didasari oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3.

Dampak Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional


Dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional.
Pendidikan yang berambisi bertaraf internasional ini diamanatkan kepada pemerintah daerah dan dimaksudkan untuk memajukan pendidikan nasional ini akhirnya menjadi kebingungan nasional. Ketika kita berbicara tentang sistem pendidikan, kita berbicara mengenai :
1. kurikulum
2. materi ajar
3. metodologi pengajaran
4. kompetensi guru
5. fasilitas
6. siswa
Embel-embel istilah “.bertaraf internasional’ seringkali diterjemahkan sebagai “asing” atau “non Indonesia”. Kebingungan nasional ini kemudian berdampak kepada 6 aspek , yaitu:
1. Penggunaan kurikulum asing
Kurikulum menurut Nunan, 1987 didefinisikan sebagai produk yang diajarkan, proses untuk mendapatkan materi dan metodologi, atau sebagai fase perencanaan suatu program. Sedangkan menurut Jack C. Richards , 1996, kurikulum merupakan filosofi, tujuan, desain dan implementasi suatu program.

PETISI : IKATAN GURU INDONESIA (IGI) HENTIKAN PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)


PETISI :
IKATAN GURU INDONESIA (IGI) HENTIKAN PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)
SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL ADALAH PROGRAM YANG SALAH KONSEP DAN 90% PASTI GAGAL

MENGAPA PROGRAM SBI HARUS DIHENTIKAN?
Jika kita cermati ternyata program SBI ini mengandung banyak kekurangan mencolok. Alih-alih menghasilkan kualitas bertaraf internasional kualitas pendidikan kita justru akan terjun bebas.Mengapa?
Ada beberapa kelemahan mendasar dari program SBI ini dan kelemahan ini begitu mendasar sehingga program ini memang harus dievaluasi, diredefinisi, dan perlu untuk dihentikan sampai hal-hal mendasar tersebut ditangani.
KONSEPNYA LEMAH
* Pertama, program ini jelas tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dll tersebut. Jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, umpamanya, maka akan lebih jelas kemana arah dari program ini. Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai “X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa yang ia maksud dengan “X” tersebut. Sampai saat ini tak ada satu pun petunjuk apa yang dimaksud dengan “X” tsb. Konsep “X” ini benar-benar misterius dan dibiarkan tetap misterius.
APA ITU ‘BERTARAF INTERNASIONAL’?

Sertifikat Cambridge Untuk Apa dan Siapa?


oleh :
Satria Dharma (Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia)

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh menegaskan bahwa pihaknya akan membeli lisensi akreditasi sekolah dasar dan menengah dari luar negeri yang berafiliasi dengan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Hal ini menurutnya terpaksa dilakukan, karena berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan, penyebab mahalnya biaya pendidikan di RSBI adalah akibat sekolah membeli sendiri lisensi akreditasi dari luar negeri, contohnya dari Cambridge.
Mendiknas mengungkapkan hal itu ketika ditemui usai membuka ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (13/7). "Kita akan membeli sendiri lisensinya. Nanti akan kami sebarkan ke setiap RSBI," jelasnya. (JPNN.com, 13 Juli 2010 )
Berita ini sungguh mengejutkan dan sekaligus mengherankan. Bagaimana mungkin Kemendiknas akan membeli lisensi akreditasi sekolah dari luar negeri? Apakah pemerintah Indonesia tidak mampu membuat akreditasi dari sekolahnya sendiri?

Sister School ala Indonesia


Setuju atau tidak, salah satu ciri yang dikembangkan atau kelihatannya menjadi trade marknya Sekolah Bertaraf Internasional adalah punya sekolah saudara (sister school) di negara lain.
Tujuannya untuk apa ? Ya tentu saja untuk saling berkunjung, berbagi pengalaman sebagaimana layaknya saudara barangkali. Karena institusi yang bersaudara adalah sekolah, maka personal yang ada di dalamnya yang akan saling berinteraksi, dimulai dari kepala sekolah, wakasek, guru dan murid-murid.
Mencari dan mengajak sebuah sekolah untuk menjadi saudara bukan pekerjaan yang gampang, sebab butuh biaya, energi, arah yang jelas dan tentu saja melibatkan pemerintahan setempat. Di Indonesia dengan dialihkannya wewenang pengelolaan pendidikan ke daerah, maka program sister school menjadi program di bawah arahan Diknas provinsi.

RSBI vs sekolah Jepang


Selama seminggu saya harus mendampingi rombongan kepsek dari Jateng berkunjung ke sekolah-sekolah di Jepang sebaga translator.
Saya tidak sempat menulis banyak di blog ini dan banyak komentar yang terabaikan, mohon maaf sebesarnya.
Kedatangan kepsek yang sebagian besar adalah kepsek Rintisan SMA/SMP bertaraf internasional bertujuan untuk menjajagi kerjasama dengan sekolah-sekolah di Jepang dalam bentuk sister school.
Saya pribadi berpendapat bahwa sister school bukan milik RSBI atau SBI semata, tetapi sekolah dengan embel-embel nama apapun bebas untuk melakukannya.
Saya mendapat kesan bahwa Kepsek yang datang memang agak terbebani dengan keharusan untuk membentuk sister school tersebut sebagai salah satu syarat RSBI.

Sabtu, 16 Oktober 2010

RSBI Sekadar Komersialisasi?

oleh: Sukartaji Wijana

Rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), merupakan cikal bakal persiapan menuju sekolah berstandar internasional. Sebuah terobosan edukasi yang tentu patut mendapat apresiasi tersendiri.
Namun apa daya, sepertinya negeri ini memang kaya program namun kadang aplikasi di lapangan belumlah seperti yang diharapkan. Berbagai keluhan serta pro dan kontra terus mengiringi keberadaan RSBI yang dianggap berjalan amburadul. Alhasil, program ini seolah hanya menjadi ajang komersialisasi.
Masih segar ingatan kita tentang protes dari calon walimurid yang mendaftarkan anaknya di RSBI SMP N 1 Sragen. Mereka memprotes tingginya uang sumbangan pengembangan dan sumbangan rutin yang oleh panitia dipatok ugal-ugalan.
Saking derasnya aduan yang masuk, sampai-sampai salah satu anggota DPRD setempat turun langsung untuk melakukan inspeksi. Hasilnya pun membelalakkan mata. Biaya yang dipatok untuk calon siswa baru mencekik leher karena angkanya dipatok minimal Rp 2,5 juta rupiah. Biaya itu adalah biaya minimal yang berarti siapa yang mampu boleh mengisi semaksimal mungkin. Bagi kalangan menengah ke atas, uang sebesar tentu sangatlah kecil. Namun bagi wali murid dari kalangan tidak mampu tentu akan menjadi problem besar.
Mungkin, kebijakan pengisian blangko sumbangan bermaksud membelajarkan budaya demokrasi. Namun, celakanya nominal sumbangan inilah yang kemudian disinyalir menjadi parameter utama untuk menentukan kelolosan calon siswa. Walhasil, siswa yang diterima pun lebih banyak akibat latar belakang ekonomi dan sumbangan, dengan mengesampingkan kemampuan akademik.
Tidak berhenti sampai di sini. Protes berlanjut terhadap kebijakan penarikan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) yang dipatok minimal Rp 250.000 per bulan dan wajib diisi sesuai kemampuan. Sekali lagi, mungkin kebijakan ini dimaksudkan untuk orientasi demokratis. Namun kebijakan ini juga bisa berimplikasi negatif terhadap pembedaan perlakuan dan fasilitas. Belum lagi dampak negatif terhadap psikologi anak dari kalangan menengah ke bawah yang bisa minder karena uang SPP-nya di bawah siswa lain.
Protes paling anyar juga dialamatkan untuk SMAN 1 Sragen yang kira-kira berlatar belakang hampir sama. Kemudian, melebar ke Kabupaten Karanganyar. Beberapa waktu lalu, rekan kami banyak berkeluh kesah tentang sistem PSB yang tidak transparan di RSBI salah satu SMP favorit di Bumi Intanpari ini.
Mereka kecewa karena mendapati nama anaknya tidak tercantum di papan pengumuman siswa yang diterima. Padahal secara nilai akademik, semestinya anak-anak mereka bisa diterima karena memiliki riwayat prestasi baik di SD. Namun, ternyata mayoritas siswa yang diterima adalah anak-anak dari pejabat dan orang-orang terkemuka di wilayah setempat dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas.
Terlalu absurd memang, jika kekecewaan mereka dilatarbelakangi kegagalan memasukkan anaknya di RSBI. Namun protes mereka lebih dikarenakan ketidakadilan dan kecurangan yang terjadi. Sebab sejak awal panitia dilaporkan gembar-gembor bersuara bahwa kelulusan bukan ditentukan oleh besarnya sumbangan namun dari akumulasi nilai dari SD, ditambah nilai tes kompetensi pada saat ujian masuk. Namun pada kenyataannya pada papan pengumuman juga tidak mencantumkan nilai siswa yang sejak awal bakal dicantumkan secara transparan.
Pertanyaan pun kembali muncul, benarkah pola ini hanyalah salah satu upaya untuk mengelabui para orangtua yang anaknya pintar, namun angka sumbangannya kalah besar? Sederet fakta dan indikasi kecurangan tersebut semakin menguatkan bahwa selama ini RSBI ini tak ubahnya menjadi ajang komersialisasi. Terlalu kasar mungkin, tapi jika dikaji lebih dalam dugaan tersebut akan mendapatkan benang merah. Dengan dalih untuk biaya kegiatan dan penyediaan sarana prasarana belajar, sekolah bisa mematok biaya hingga puluhan juta rupiah.
Memang jika dikembalikan lagi, pendidikan berkualitas tidak akan terlepas dari sarana prasarana yang memadai. Jika dikembalikan lagi, kelas RSBI adalah jalur VIP yang dikonsep untuk siswa berkelebihan dengan fasilitas yang lebih komplet dibanding kelas reguler. Sehingga sangatlah wajar jika biaya yang dipatok juga menyesuaikan.
Payung Hukum
Namun bukan berarti sekolah bisa seenaknya memainkan bahasa tersebut untuk mengeruk keuntungan. Sebab jika dirunut lebih jauh, tujuan pengadaan RSBI ini adalah untuk menyaring siswa-siswa dengan kemampuan di atas rata-rata agar lebih optimal dalam menyerap pelajaran. Pertanyaan selanjutnya, benarkah RSBI yang ada sudah berjalan sesuai konsep yang diprogramkan?
Ya, keberadaan RSBI mempunyai payung hukum yakni UU Nomor 20/2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di mana pemerintah daerah diwajibkan menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah berstandar internasional. Hal inilah yang memotivasi daerah berlomba-lomba membuat usulan sekolah-sekolah yang dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan RSBI.
Sayangnya, celah ini pula yang terkadang ditumpangi motif lain. Yakni kepentingan untuk mendapat kucuran dana melimpah dari pemerintah pusat. Ya, sekolah yang ditunjuk sebagai RSBI memang akan mendapat suntikan dana yang nilainya hampir mendekati Rp 500 juta. Adanya motivasi ini terkadang membuat daerah seolah memaksakan sekolah yang belum sepenuhnya siap untuk tetap diusulkan.
Belum lagi jika dilihat dari segi pelaksanaan, konsep RSBI sendiri masih banyak kelemahan. Misalnya, dari aspek kemampuan penguasaan bahasa Inggris para guru yang masih sangat rendah.
Seperti pernah dinyatakan Direktur Tenaga Kependidikan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Surya Dharma, kemampuan bahasa Inggris guru dan kepala sekolah di RSBI sangatlah rendah. Di mana, 60 persen dari guru di RSBI level penguasaan bahasa Inggrisnya berada di level paling rendah. Padahal, penguasaan bahasa pokok internasional ini menjadi keharusan, mengingat pembelajaran dan komunikasi di kelas RSBI menggunakan sistem bilingual alias dua bahasa yaitu Indonesia dan Inggris.
Kemudian, jika ditinjau dari segi fasilitas juga banyak dinilai belumlah memadai. Sebab, mayoritas RSBI yang ada, baru mengupayakan prasarana seperti laboratorium setelah mendapat anggaran dari pusat. Artinya, besar kemungkinan prasarana yang ada diupayakan sambil jalan.
Tak heran jika akhirnya muncul tanggapan miring dari kalangan praktisi pendidikan. Koordinator Divisi Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan pernah menyampaikan jika RSBI atau SBI inkonstituisonal karena melanggar UUD 1945. Di mana pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional bukan pendidikan internasional.
Pengamat Pendidikan terkemuka Darmaningtyas juga menilai RSBI atau SBI adalah bentuk komersialisasi pendidikan yang melanggar konstitusi. Sistem pengelolaan RSBI yang diserahkan sepenuhnya oleh sekolah, membuat manajemen leluasa menarik biaya sebesar-besarnya karena tidak ada aturan yang eksplisit mengatur besarnya biaya sumbangan siswa di RSBI.
Melihat konteks persoalan tersebut, rasanya perlu dikaji kembali keberadaan RSBI. Mungkin perlu ada Perda dan aturan yang jelas mengenai konsep dan standar kualifikasi untuk sekolah-sekolah negeri yang membuka jalur khusus bernama RSBI. Tidak hanya manajemen programnya, perlu juga diatur mengenai mekanisme penentuan sumbangan dan rekrutmen calon siswa barunya. Keharusan transparansi prosedur rekrutmen, penentuan kelulusan, hingga pencantuman nilai menjadi hal yang mutlak tak boleh ditinggalkan. Sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi, ditelikung atau dikorbankan.

*Penulis adalah pemerhati
masalah sosial, tinggal
di Jaten, Karanganyar


http://harianjoglosemar.com/berita/rsbi-sekadar-komersialisasi-16114.html


RSBI: Taraf Atau Tarif Internasional


Oleh Edy M. Ya'kub

Surabaya - Rasanya dunia pendidikan merupakan dunia yang tidak pernah sepi kritik. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah salah satu buktinya, bahkan kritik terhadap RSBI cukup bertubi-tubi datangnya.

Ada yang menyodok RSBI sebagai ajang bisnis pendidikan menengah, ada pula yang menuding RSBI untuk melahirkan "kastanisasi", termasuk dianggap menutup peluang anak miskin untuk masuk sekolah berkualitas.

"RSBI bertujuan mendorong munculnya SMA yang berkualitas internasional," kata Humas SMA Khadijah (RSBI), Surabaya, Nurmantoko, kepada ANTARA (6/6/2010).

Oleh karena itu, katanya, jika dibilang mahal akibat adanya "bisnis pendidikan" di dalamnya, maka hal itu tidak sepenuhnya benar, sebab mahal itu relatif.

RSBI : Apa Artinya Punya Sekolah Internasional?



Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) masih terus diwarnai pro dan kontra. Bahkan, sosiolog Imam Prasodjo pun ikut menyatakan kekhawatirannya atas euforia RSBI yang selama ini lebih menekankan pada internasionalisasinya, tetapi melupakan karakter bangsanya sendiri.

"Lembaga pendidikan harus jelas isinya dan ada tiga garis besar yang harus digarap dalamnya pada anak didik, yaitu pembangunan karakter, membangun nasionalisme, serta kemampuan dan semangat penelitian," ujar Imam kepada Kompas.com di sela peluncuran program "Komputer untuk Sekolah" di Jakarta, Jumat (23/7/2010).
Pembangunan karakter, kata Imam, antara lain kejujuran, tanggung jawab, keadilan, toleransi, keberanian, dan lain-lainnya, yang ditanamkan pada anak didik. Sementara untuk nation building, lembaga pendidikan harus mampu memberikan fondasi kuat agar anak didik tidak berpikir kesukuan dan keagamaan saja, tetapi harus multikultur.
"Karena negara kita terdiri dari beraneka ragam budaya dan suku," ucap Imam.
"Apa artinya punya sekolah internasional dan seluruh kemewahan dan keilmuannya jika tidak memiliki karakter dan peduli terhadap negaranya sendiri," tambahnya.
Dia menambahkan, pada akhirnya orang-orang hanya akan sekadar menjadi pegawai di perusahaan asing. Kelak mereka tidak lagi memikirkan negaranya sendiri.
"Hanya akan menjadi sekrup-sekrup kepentingan negara asing, dan ini yang membuat saya khawatir," tambahnya.
@kompas.com

Grafologi : Membaca Kepribadian dari Tulisan Tangan


Grafologi adalah seni membaca karakter tulisan tangan. Tulisan tangan mirip sidik jari-setiap orang memiliki ciri khusus, kalaupun ada dua orang memiliki tulisan tangan yang sama, jika anda perhatikan, pasti akan terlihat bedanya.

Tulisan tangan terbentuk dari rangsangan kecil dari otak sehingga sering sekali para ahli grafologis menyebut tulisan tangan adalah “tulisan otak.” Grafologi merupakan sebuah ilmu yang empirik, karena ilmu ini dibuktikan berdasarkan fenomena dalam satu populasi dan ada kuantifikasi hasil atau ada hasil dari uji statistik yang bisa dipertanggungjawabkan.

Kegunaan grafologi bisa kita lihat sejak 6000 tahun yang lalu, di masa Cina kuno. Pengetahuan mereka berpindah ke orang Yunani dan Romawi, dan Kaisar Nero menggunakannya untuk menentukan orang yang bisa ia percaya.

Problematika Masa Remaja


Fase remaja merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting. Harold Alberty (1957) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai dengan awal masa dewasa. Conger berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa yang amat kritis yang mungkin dapat erupakan the best of time and the worst of time.
Kita menemukan berbagai tafsiran dari para ahli tentang masa remaja :
• Freud menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang definitif.Charlotte Buhler menafsirkan masa remaja sebagai masa kebutuhan isi-mengisi.Spranger memberikan tafsiran masa remaja sebagai masa pertumbuhan dengan perubahan struktur kejiwaan yang fundamental.

Mencegah kecemasan siswa di sekolah

Oleh : Akhmad Sudrajat


Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan dengan intensitas yang wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi apabila intensitasnya sangat kuat dan bersifat negatif justru malah akan menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan psikis individu yang bersangkutan.

Adalah Sigmund Freud, sang pelopor Psikoanalisis yang banyak mengkaji tentang kecemasan ini. Dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian seorang individu.

Freud (Calvin S. Hall, 1993) membagi kecemasan ke dalam tiga tipe:

  1. Kecemasan realistik yaitu rasa takut terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di dunia luar atau lingkungannya.
  2. Kecemasan neurotik adalah rasa takut jangan-jangan insting-insting (dorongan Id) akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang bisa membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang akan menimpanya jika suatu insting dilepaskan. Kecemasan neurotik berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas, jika dia melakukan perbuatan impulsif.
  3. Kecemasan moral yaitu rasa takut terhadap suara hati (super ego). Orang-orang yang memiliki super ego yang baik cenderung merasa bersalah atau malu jika mereka berbuat atau berfikir sesuatu yang bertentangan dengan moral. Sama halnya dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral juga berkembang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya pada masa kanak-kanak, terkait dengan hukuman dan ancaman dari orang tua maupun orang lain yang mempunyai otoritas jika dia melakukan perbuatan yang melanggar norma

Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut traumatik, yang akan menjadikan seseorang merasa tak berdaya, dan serba kekanak-kanakan. Apabila ego tidak dapat menanggulangi kecemasan dengan cara-cara rasional, maka ia akan kembali pada cara-cara yang tidak realistik yang dikenal istilah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), seperti: represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi dan regresi. Semua bentuk mekanisme pertahanan diri tersebut memiliki ciri-ciri umum yaitu: (1) mereka menyangkal, memalsukan atau mendistorsikan kenyataan dan (2) mereka bekerja atau berbuat secara tak sadar sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Kecemasan dapat dialami siapapun dan di mana pun, termasuk juga oleh para siswa di sekolah. Kecemasan yang dialami siswa di sekolah bisa berbentuk kecemasan realistik, neurotik atau kecemasan moral. Karena kecemasan merupakan proses psikis yang sifatnya tidak tampak ke permukaan maka untuk menentukan apakah seseorang siwa mengalami kecemasan atau tidak, diperlukan penelaahan yang seksama, dengan berusaha mengenali simptom atau gejala-gejalanya, beserta faktor-faktor yang melatarbelangi dan mempengaruhinya. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa gejala-gejala kecemasan yang bisa diamati di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari masalah yang sesungguhnya, ibarat gunung es di lautan, yang apabila diselami lebih dalam mungkin akan ditemukan persoalan-persoalan yang jauh lebih kompleks.

Di sekolah, banyak faktor-faktor pemicu timbulnya kecemasan pada diri siswa. Target kurikulum yang terlalu tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang sangat padat, serta sistem penilaian ketat dan kurang adil dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kecemasan yang bersumber dari faktor kurikulum. Begitu juga, sikap dan perlakuan guru yang kurang bersahabat, galak, judes dan kurang kompeten merupakan sumber penyebab timbulnya kecemasan pada diri siswa yang bersumber dari faktor guru. Penerapan disiplin sekolah yang ketat dan lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman, serta sarana dan pra sarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan faktor-faktor pemicu terbentuknya kecemasan pada siswa.yang bersumber dari faktor manajemen sekolah.

Menurut Sieber e.al. (1977) kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah. Pada tingkat kronis dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik (somatik), seperti: gangguan pada saluran pencernaan, sering buang air, sakit kepala, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran bahkan pingsan.

Mengingat dampak negatifnya terhadap pencapaian prestasi belajar dan kesehatan fisik atau mental siswa, maka perlu ada upaya-upaya tertentu untuk mencegah dan mengurangi kecemasan siswa di sekolah, diantaranya dapat dilakukan melalui:

  1. Menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran dapat menyenangkan apabila bertolak dari potensi, minat dan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, strategi pembelajaran yang digunakan hendaknya berpusat pada siswa, yang memungkinkan siswa untuk dapat mengkspresikan diri dan dapat mengambil peran aktif dalam proses pembelajarannya.
  2. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru seyogyanya dapat mengembangkan “sense of humor” dirinya maupun para siswanya. Kendati demikian, lelucon atau “joke” yang dilontarkan tetap harus berdasar pada etika dan tidak memojokkan siswa.
  3. Melakukan kegiatan selingan melalui berbagai atraksi “game” atau “ice break” tertentu, terutama dilakukan pada saat suasana kelas sedang tidak kondusif.. Dalam hal ini, keterampilan guru dalam mengembangkan dinamika kelompok tampaknya sangat diperlukan.
  4. Sewaktu-waktu ajaklah siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran di luar kelas, sehingga dalam proses pembelajaran tidak selamanya siswa harus terkurung di dalam kelas.
  5. Memberikan materi dan tugas-tugas akademik dengan tingkat kesulitan yang moderat. Dalam arti, tidak terlalu mudah karena akan menyebabkan siswa menjadi cepat bosan dan kurang tertantang, tetapi tidak juga terlalu sulit yang dapat menyebabkan siswa frustrasi.
  6. Menggunakan pendekatan humanistik dalam pengelolaan kelas, dimana siswa dapat mengembangkan pola hubungan yang akrab, ramah, toleran, penuh kecintaan dan penghargaan, baik dengan guru maupun dengan sesama siswa. Sedapat mungkin guru menghindari penggunaan reinforcement negatif (hukuman) jika terjadi tindakan indisipliner pada siswanya.
  7. Mengembangkan sistem penilaian yang menyenangkan, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian diri (self assessment) atas tugas dan pekerjaan yang telah dilakukannya. Pada saat berlangsungnya pengujian, ciptakan situasi yang tidak mencekam, namun dengan tetap menjaga ketertiban dan objektivitas. Berikanlah umpan balik yang positif selama dan sesudah melaksanakan suatu asesmen atau pengujian.
  8. Di hadapan siswa, guru akan dipersepsi sebagai sosok pemegang otoritas yang dapat memberikan hukuman. Oleh karena itu, guru seyogyanya berupaya untuk menanamkan kesan positif dalam diri siswa, dengan hadir sebagai sosok yang menyenangkan, ramah, cerdas, penuh empati dan dapat diteladani, bukan menjadi sumber ketakutan.
  9. Pengembangan menajemen sekolah yang memungkinkan tersedianya sarana dan sarana pokok yang dibutuhkan untuk kepentingan pembelajaran siswa, seperti ketersediaan alat tulis, tempat duduk, ruangan kelas dan sebagainya. Di samping itu, ciptakanlah sekolah sebagai lingkungan yang nyaman dan terbebas dari berbagai gangguan, terapkan disiplin sekolah yang manusiawi serta hindari bentuk tindakan kekerasan fisik maupun psikis di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru, teman maupun orang-orang yang berada di luar sekolah.
  10. Mengoptimalkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Pelayanan bimbingan dan konseling dapat dijadikan sebagai kekuatan inti di sekolah guna mencegah dan mengatasi kecemasan siswa Dalam hal ini, ketersediaan konselor profesional di sekolah tampaknya menjadi mutlak adanya.

Melalui upaya – upaya di atas diharapkan para siswa dapat terhindar dari berbagai bentuk kecemasan dan mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat secara fisik maupun psikis, yang pada gilirannya dapat menunjukkan prestasi belajar yang unggul.


sumber :

http://www.duniaedukasi.net/2010/05/mencegah-kecemasan-siswa-di-sekolah.html